MK Langgar Konstitusi
Anggota Badan Legislasi DPR RI (Baleg), Bukhori menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perspektif sedikit keblabasan. Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Pleno Baleg yang membahas Tindak Lanjut Keputusan MK, di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Jakarta, Rabu (12/6)
Bukhori menjelaskan, meskipun MK itu diamanati oleh UUD untuk mengawal terhadap UU, yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menjaga tingkat subyektivitas daripada para hakim MK itu sendiri.
Dijelaskan Bukhori, dulu pada saat merumuskan satu perubahan terhadap UU MK, pada waktu itu ada beberapa fraksi mengusulkan perlu adanya satu kewenangan yang jelas dari MK. Pada saat itu, DPR ingin memposisikannya, karena hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang itu baik secara kelembagaan maupun secara kuantifikasi tentunya tidak akan sama.
“Ternyata tingkat subyektivitas para hakim itu tidak mampu dirumuskan. Waktu itu kita coba rumuskan dalam bentuk putusan-putusan yang terbatas, artinya hakim tidak boleh melampaui terhadap permintaan apa yang dilakukan pemohon dalam konteks yudicial review tetapi itupun akhirnya kemudian dibatalkan oleh MK itu sendiri”, jelas Bukhori.
Sehingga, kata Bukhori, yang terjadi saat ini adalah salah satu akibatnya. Bukhori ingat betul bagaimana Hakim MK, Hamdan Zoelva memberikan penjelasan pada saat rapat konsultasi dengan MK beberapa hari lalu. Dimana Hamdan membuka sedikit tabir, dimana menurut Bukhori MK menggunakan logika yang dipakainya adalah meng-equalkan atau menyamakan antara DPR dengan DPD.
Padahal kita semua tahu bahwa lembaga MK mestinya adalah negatif legislator, sedangkan di DPR adalah positif legislator. Artinya DPR yang membentuk UU, dan MK yang mencoret UU yang bertentangan, papar Bukhori. “Mestinya seperti itu. Tidak kemudian mencoret lalu membuat. Ini kadang-kadang melakukan dua hal yang bermasalah,” ujarnya.
Jadi sekali dan dirinya ingat betul bahwa memang frame yang dipakai MK dalam memutuskan uji materi UU MD3 itu adalah meng-equalkan atau menyamakan, karena suasana menstarakan antara DPD dengan DPR jika harus melalui mekanisme amandmen UU itu tidak memungkinkan. Satu-satunya melalui MK itulah.
“Oleh karena itu, saya sepakat dengan Ketua Baleg, bahwa meskipun itu putusannya putusan MK maka tentunya kita semua harus tunduk pada UUD 1945. Jadi kalau putusan-putusan yang berakibat bertentangan dengan UUD, tidak boleh diimplementasikan,” tegas Bukhori.
Oleh karena itu, dirinya ingin bertanya, apa konsekuensi ketika putusan-putusan MK itu tidak segera DPR lakukan revisi terhadap UU terkait?.
Jawabannya adalah ketika keputusan MK itu tidak segera dilakukan satu perubahan terhadap UU terkait itu, maka keputusan itu belum bisa dijalankan, tegas Bukhori.
Ditegaskan Bukhori, Keputusan MK tidak bisa bersifat eksekusiable, tidak bisa dieksekusi. “Dia merupakan suatu barang yang sebenarnya masih ada di langit, untuk bisa sampai bumi ya harus kemudian dituangkan diformulasikan ke dalam RUU ini menurut aliran pembentukan UU kita,” terangnya.
Oleh karena itu, dirinya memandang, DPR tidak serta merta dengan adanya keputusan itu seperti orang yang kehilangan arah, semua RUU kemudian DPR ubah. Menurutnya DPR tidak perlu tergesa-gesa, tetap saja harus dimasukan kedalam mekanisme yang ada selama ini yaitu melalui mekanisme program legislasi nasional.
“Apakah nanti di awal 2014 nanti kita akan melakukan perubahan prolegnas atau kemudian sesegera mungkin lalu kita harus melakukan perubahan terhadap prolegnas? Saya berpandangan itu belum menjadi suatu hajat yang sangat mendesak apalagi masih ada hajat-hajat yang lain misalnya yang harus diselesaikan dan lebih mendesak”, imbuhnya.
Oleh karena itu yang perlu diselesaikan, menurutny adalah RUU yang ada didalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saja, seperti RUU MD3 yang memang sedang dibahas Baleg. Adapun RUU yang lain atau UU yang lain, menurutnya tidak kemudiakan digesa-gesakan karena situasinya sendiri tidak kondusif, apalagi misalnya putusan MK itu didalam kesimpulan tidak tertulis antara konsultasi DPR dengan MK.
“Pada akhirnya pun ketua MK menyatakan “silakan diatur di DPR”. Artinya sebenarnya serangan-serangan yang dilakukan dari pimpinan fraksi cukup membuat MK agak lumayan pula, putusan yang dianggap melanggar konstitusi,” tandasnya. (sc )/foto:odjie/parle/iw.